Seorang anak
perempuan berusia tujuh tahun tampak terengah-engah karena berlari mendekati
teman yang sudah sepuluh hari dikenalnya, sedang duduk di rumput pinggir sawah.
“Hei, hidung rata.
Kamu kemana aja, sih? Kok lama banget?”
Perempuan yang
dipanggil ‘hidung rata’ itu tampak mengerucutkan bibirnya setelah diejek oleh
laki-laki yang diam-diam disukainya itu. Disa memang berhidung pesek atau lebih
tepatnya berhidung kecil yang membuat kesan imut di wajahnya.
“Maaf, Luki. Tadi
aku disuruh mamaku sebentar. Hehe.”
Luki merengut
mendengar jawaban Disa, “Yaudah gak apa-apa. Duduk sini.” Katanya kemudian
sambil menepuk tanah berumput di sebelahnya.
“Ada
apa sih? Kamu kok tumben manggil aku kesini? Sore-sore gini lagi.” tanya Disa
penasaran. Luki hanya diam menanggapinya, kemudian mengeluarkan koin seratus
rupiah dari saku celananya.
“Sebelumnya
kita main ‘Jujur-jujuran’ dulu. Seperti biasa, kamu yang lambang burung garuda,
dan aku angka seratusnya.” jelas laki-laki yang ternyata diam-diam juga
menyukai gadis berusia 7 tahun itu.
Tiap
kali bertemu, mereka selalu memainkan permainan yang mereka sebut
‘Jujur-jujuran’ itu. Cara bermainnya, salah satunya harus melempar koin lalu
menangkapnya di punggung tangan. Yang pilihan sisi koinnya di atas itulah yang
akan memberi pertanyaan, dan lawannya harus menjawab dengan jujur. Tentu saja,
ini hanya bisa dimainkan oleh dua orang.
“Oke.
Setuju.” jawab Disa disertai anggukan dan cengiran khasnya.
Luki mulai melempar koin lalu menangkapnya, “Angka seratus. Berarti aku yang nanya kamu.” Luki mulai memperlihatkan senyumnya, namun dengan perlahan raut wajahnya berubah menjadi serius, “Dis, kalau aku pergi, kamu bakal ngelupain aku, nggak?” tanya Luki pada gadis kecil yang duduk di sebelahnya.
Disa
terdiam mendengar pertanyaan yang dilontarkan untuknya, menatap mata Luki
dalam-dalam seolah mencari kebohongan, namun tak dapat ia temukan. Dia berusaha
mencerna pertanyaan Luki barusan. Mereka memang baru sepuluh hari kenal karena
secara kebetulan mereka berlibur di tempat dan waktu yang sama. Tapi, Luki
pernah mengatakan ke Disa kalau dia berada disana hanya dua minggu.
“Bodoh. Kita baru
aja jadi sahabat. Masa kamu nanya gitu, sih? Emang kamu mau balik ke kota kamu
ya? Ini kan belum 2 minggu.” tanya Disa panjang lebar.
Luki
mengeluarkan spidol hitam permanen dari saku kanannya. Dicoretnya angka nol
terakhir di koin seratus rupiah yang dilemparnya tadi dan angka berubah menjadi
‘10’. Lalu, koin itu diberikannya ke Disa.
“Sepuluh?
Maksudnya apa?” tanya Disa heran.
“Walaupun aku baru
kenal kamu sepuluh hari, aku udah anggap kamu sahabat terbaik aku.” Dia
tersenyum seraya bangkit dari duduknya. “Koinnya kamu simpan baik-baik, ya.”
Dia tersenyum lagi, lalu pergi.
“Disaaa..”
“....”
“WOY DISAAA!!!”
“Eh, ya? Kenapa,
Tit?” Disa langsung terbangun dari lamunannya karena suara teriakan teman
sebangkunya, Tita.
“Gue udah manggil
lo tujuh kali, Dis, TUJUH KALI! Lo lagi mikirin apa, sih? Teman TK lo itu lagi,
hah?” tanya Tita seakan menyindir.
Disa mengkerutkan
dahinya, “Aku harus bilang berapa kali sih. Bukan teman TK loh, Tit. Teman
liburan, bukan teman TK. Camkan!” jelasnya.
“Iya..iya. Teman
liburan. Lagian itukan udah lama banget. Masih aja dipikirin. Dan lo juga
camkan, nama gue Tita, bukan titit. Panggil gue ‘Tita’, jangan ‘Tit’ doang. Gue
gak suka!” Tita menyilangkan tangannya dan merengut kesal.
Disa mengeluarkan
cengirannya, “Hehe..maaf, ya, TITA.” sedikit menekankan pengucapan nama Tita.
Setelah itu, dilihatnya tangannya yang masih menggenggam koin seratus rupiah
yang angka nol terakhirnya sudah dicoret dengan spidol. Disimpannya lagi koin
itu ke dalam dompetnya.
Saat ini di sekolah
mereka memang sedang terjadi fenomena class
meeting. Dimana mereka bisa bebas ngapain aja di sekolah karena ujian
semester udah lewat dan tinggal menunggu rapor. Rapor yang ditunggunya ini akan
membawanya naik ke kelas 3 SMA. Saat ini, usia Disa masih 16 tahun dan tiga hari
lagi akan genap 17 tahun.
“Dis, pulang
sekolah nanti lo kerumah gue ya. Asta kangen tuh sama lo.” ajak Tita.
“Gak bisa, Tita.
Nanti aku mau pergi sama nyokap. Maaf ya.” jawabnya dengan nada menyesal.
Bohong. Sebenarnya bukan tidak bisa, tapi memang tidak mau. Atau lebih tepatnya
menghindari Asta.
Asta, cowok
berusia 18 tahun, berwajah tampan dan bertubuh atletis yang enam hari lalu
berkenalan dengan Disa. Tentu saja perkenalan yang melalui Tita. Cowok itu adalah sepupu Tita yang baru datang
dari Sidney dan ingin melanjutkan kuliah di Indonesia. Dalam sehari saja, Disa
langsung bisa akrab dan merasa nyaman dengan Asta. Ia seperti melihat Luki berada
dalam diri cowok itu.
Sebelumnya, Disa
memang sering mendengar Tita menceritakan tentang Asta. Sebulan yang lalu, Tita
pernah mengirim foto mereka berdua ke Asta melalui email. Saat itu, Asta ingin
melihat seperti apa wajah sepupu yang sudah bertahun-tahun ditinggalnya itu.
Tapi, begitu melihat wajah Disa yang juga ada di foto itu, Asta langsung
tertarik dan mengatakan kalau dia ingin bertemu Disa saat dia pulang ke
Indonesia nanti. Jangan tanya ekspresi Tita. Dia sangat senang karena temannya
yang manis itu memang sudah lama menyandang status jomblo.
Pertama kali
melihat Asta, Disa langsung mengira kalau dia adalah Luki, karena sepintas
wajah mereka mirip. Tapi, pikiran itu langsung ditepisnya. Mana bisa ia
membandingkan wajah Luki saat masih bocah dengan wajah Asta yang lebih tua
setahun darinya sekarang.
“Dia Asta, bukan
Luki.” Begitulah yang dipikirkan Disa.
Tapi belakangan
ini, dia menaruh curiga lagi terhadap identitas Asta yang sebenarnya. Semua
kecurigaan itu berkat permainan yang sering Disa, Tita, dan Asta mainkan di
kala bosan. Permainan ‘Truth or Dare’. Di hari pertama kedatangan Asta, mereka
sudah memainkan permainan itu. Saat itu...
“Truth or Dare?”
tanya Tita pada sepupunya.
Asta tampak sedang
berpikir. Kelihatannya ia tidak akan memilih ‘Dare’ mengingat kondisinya yang
masih lelah untuk diberi tantangan aneh dari kedua cewek disampingnya itu.
“Truth.” jawabnya
santai setelah berpikir.
Tita melirik Disa
yang juga menatapnya malas seakan mengatakan ‘Aku tidak tahu harus bertanya
apa’ karena Disa memang baru mengenal Asta. Akhirnya Tita tersenyum jahil dan
bertanya, “Emm.. Lo udah pacaran berapa kali?” Tita menatap Asta dengan wajah
penasaran. Wajar saja dia penasaran karena Asta memang cukup tampan. Pasti
banyak kaum hawa yang tertarik padanya. Dan mungkin jumlah pacarnya tak bisa
dihitung dengan jari.
“Belum pernah.”
jawabnya datar.
Tita terkejut dan
mulai bertanya lagi, “Hah? Serius? Emang lo gak pernah jatuh cinta apa?”
Disa yang hanya
memilih untuk diam sambil mendengar jawaban Asta tak kalah herannya.
“Pernah. Sekali.”
jawabnya lagi yang pasrah ditanyain macam-macam dengan Tita. Dia melirik Disa
sebentar yang juga sedang melihatnya dengan tatapan penasaran.
“Ohya? Kapan? Sama
siapa? Bule di Sidney ya?” kali ini pertanyaan Tita semakin banyak.
“Waktu usia gue 8
tahun. Sama.....sahabat baru gue...waktu liburan di desa.” Asta sedikit takut
untuk jujur. Entah apa yang ia takutkan. Tapi, ia masih berusaha sesantai
mungkin untuk menjawab.
Tita tertawa geli
mendengar jawaban singkat cowok itu. Sementara, Disa tampak menundukkan
kepalanya tak lagi melihat Asta. Dia terlihat sedang berpikir. Kenapa masa lalu
Asta begitu mirip dengan masa lalunya? Apa mungkin cowok ini adalah... ah,
mungkin hanya kebetulan. Lagian mana mungkin saat itu Luki menyukainya. Luki
hanya menganggapnya sahabat. Disa saja yang menyukainya diam-diam. Dan mungkin
masih suka sampai sekarang, atau lebih tepatnya cinta.
Tapi, kalau
pertanyaan Tita itu dilontarkan padanya, ia akan menjawab hal yang sama.
Bedanya, Disa pernah berpacaran sekali sewaktu SMP, tapi bukan karena ia
menyukainya, melainkan karena kasihan untuk menolak. Beruntunglah kurang dari
sebulan mereka putus karena cowok itu pindah ke luar kota.
Kecurigaan cewek
berhidung mungil ini tidak hanya sampai disitu. Pernah juga di hari keempat
Disa mengenal Asta, dia dikejutkan dengan sesuatu yang pernah ia lihat beberapa
tahun yang lalu ternyata ada pada Asta, yaitu tanda lahir yang sama dengan
Luki. Lagi-lagi ‘kejutan’ itu adalah ulah permainan Truth or Dare.
“Gue pilih Dare.
Tapi jangan yang aneh-aneh, ya.” itulah permintaan Asta ketika dua hari yang
lalu rahasianya dibongkar habis-habisan oleh Tita.
Tampak Disa dan
Tita tengah berbisik sesuatu. Setelah cukup lama, Disa yang memutuskan, “Kamu
pasti bisa dong headstand? Bisa, kan?
Coba lakuin...” ia agak menggantung kalimatnya.
“Oh. Gitu doang.
Gampang.” jawabnya sombong karena dia memang seorang atlet.
“....selama satu
menit.” sambung Disa sambil menyeringai diikuti senyum licik Tita yang hanya
diam dari tadi.
Asta menelan
ludah. Tapi bukan Asta namanya kalau harus menyerah karena diberi tantangan
seperti itu. Cowok itu menuntun Disa dan Tita untuk mendekat ke tembok. Tembok
itu akan digunakan untuk menyandarkan kaki Asta saat ia akan melakukan headstand.
Perlahan Asta
melakukan salto untuk menaikkan kakinya dan menggunakan tembok untuk
membantunya bertahan. Saat itu, mata Disa langsung terbuka lebar begitu melihat
ada tanda di telapak kaki kanan Asta. Dia pernah melihat tanda lahir yang sama
beberapa tahun yang lalu saat kaki Luki terluka karena berlari-lari di pinggir
sawah. Kemudian, Disa mengobati kakinya dan saat itulah ia melihat tanda di kaki
Luki.
Mulai hari itu,
Disa tak pernah mau lagi diajak bertemu Asta. Dia mulai berpikir aneh-aneh
tentang Asta. Apakah Asta itu kembaran Luki? Tunggu. Luki gak pernah punya
kembaran. Lalu, kalau Asta itu adalah Luki, kenapa dia mengganti namanya?
Apakah ‘Asta’ adalah panggilan lain dari nama Luki? Ah, sayangnya Disa tak
pernah tau nama panjang sahabat kecilnya itu.
Tita langsung
cemberut begitu mendengar Disa menolak ajakannya. “Yah. Kok gak bisa mulu, sih,
Dis? Gue harus bilang apa lagi nih ke Asta?” tanyanya.
Disa hanya nyengir
dengan wajah sedikit memelas. Sebenarnya, ia sedikit keterlaluan karena terus menghindari
Asta. Tapi, ia juga belum siap dengan segala kemungkinan kalau Asta itu adalah
Luki. Ia belum bisa memaafkan Luki yang beberapa tahun lalu pergi tanpa
memberitahunya.
Sepulang sekolah,
Disa segera pulang ke rumah, memasuki kamar, mengganti seragam, lalu mengambil handphone-nya yang masih berada di tas
sekolah. Begitu ia membuka tasnya, ia melihat novel yang sudah dua bulan
dipinjamnya dari Tita. Niatnya, akan dikembalikan saat di sekolah tadi, tapi
terlambat. Akhirnya, ia memutuskan ke rumah Tita saat ini juga untuk
mengembalikan novel itu karena takut kalau besok ia akan lupa lagi. Lagipula,
jarak antara rumah mereka tidak jauh. Ia selalu naik sepeda tiap kali ke rumah
Tita.
Sampai di rumah
Tita, Disa membuka pagar yang tidak terkunci, lalu masuk ke halaman rumahnya.
Saat Disa akan mengetuk pintu, ia melihat ternyata pintunya sedikit terbuka.
Tapi, langkahnya terhenti ketika hampir saja ia membuka pintu itu. Disa tak
sengaja mendengar percakapan Tita dan Asta yang sedang mengobrol serius di
ruang tamu.
“Gue belum bisa
bilang siapa gue sebenarnya ke Disa. Gue...gak mau dia jadi benci sama gue.
Untuk sementara, biarin aja tetap kayak gini. Setidaknya gue masih bisa dekat
sama dia.” Asta berkata lirih.
“Suatu saat dia
juga bakal tau. Apa susahnya sih jujur ke dia? Lo tinggal bilang kalau lo itu
Astara Luki Riangga dan jelasin kenapa sepuluh tahun yang lalu lo ninggalin
dia. Selesai.” ucap Tita santai dengan wajah yang serius.
Disa yang berada
di balik pintu dan mendengar semua obrolan itu, tanpa sadar menjatuhkan novel
yang tadinya akan ia kembalikan ke pemiliknya. Suara buku jatuh itu cukup
menyadarkan penghuni rumah bahwa ada orang di balik pintu.
“Di-Disa..” ucap
Tita terbata-bata.
to be continue..
0 comment:
Posting Komentar
Jangan cuma baca aja, komentar juga dong! Tapi komentar yang baik-baik ya :)