“Di-Disa..” ucap
Tita terbata-bata.
Sementara Disa
hanya melihat kedua orang yang sekarang ada di depannya dengan tatapan tidak
percaya. Matanya mulai berkaca-kaca menahan tangis. Ternyata benar
kecurigaannya selama ini, bahwa Asta itu adalah Luki, sahabatnya di masa lalu.
Dan juga, Tita, teman yang selama ini ia percaya, entah sejak kapan mulai
membohonginya.
Disa melangkahkan
kakinya dan menenteng sepedanya agar dapat segera pergi dari tempat itu. Asta
yang tadinya hanya menatap sosok cewek yang masih dicintainya itu, mulai
mengejar dan menghentikan langkahnya yang sudah agak jauh dari rumah Tita.
Sementara, Tita hanya menunggu dan berharap Asta menjelaskan semuanya ke Disa.
“Disa! Tunggu!”
Asta menghentikan langkahnya. Kali ini gadis itu tidak bisa menghindar lagi
karena cowok itu sekarang tepat hadapannya seakan menghalangi jalannya. Asta
diam, tidak tau harus menjelaskan dari mana. Disa hanya menundukkan kepala
untuk menyembunyikan air matanya. Karena tidak sabar menunggu, ia mulai
melangkahkan lagi kakinya.
“Sepuluh tahun yang lalu...” Akhirnya Asta mulai bicara. Disa mau tak mau tidak jadi pergi.
Asta menjelaskan bahwa saat itu ibunya yang mengidap penyakit jantung tiba-tiba
kumat saat dia masih menemani ayahnya yang sedang mengurus tanah di desa yang
waktu itu ia anggap tempat liburan. Asta menemani ayahnya ke desa karena ia
sangat jarang bersama-sama dengan ayahnya yang sering meninggalkan ia dan
ibunya untuk bekerja di Sidney.
Siang hari,
sebelum Asta atau Luki meminta Disa menemuinya di pinggir sawah, ayahnya
memberitahukan bahwa besok siang mereka akan kembali ke kota. Sebelumnya, ayah
Asta bilang mereka hanya dua minggu disana. Ternyata lebih cepat dari
rencananya. Asta pikir ia masih bisa berpamitan dengan Disa besok paginya.
Tapi, ayahnya berubah pikiran. Malam itu juga, mereka pulang karena pembantunya
saat itu menelpon dan mengabarkan bahwa kondisi ibunya semakin parah. Tidak
mungkin ia berpamitan dengan Disa saat itu juga karena anak itu pasti sudah tidur.
Sampai di kota,
kondisi ibunya mulai membaik. Empat hari kemudian, mereka memutuskan untuk pindah
ke Sidney karena ayahnya pikir tidak mungkin ia terus merawat istrinya disini
sementara ia harus bekerja di Sidney.
Asta berpikir
masih ada sepuluh tahun waktunya untuk mencari Disa dan menepati janjinya. Dia
berniat akan kuliah di Indonesia. Kebetulan ia mempunyai banyak saudara disana,
salah satunya Tita. Dari situlah ia mengetahui bahwa Tita ternyata kenal dekat
dengan cewek yang selama ini ia cari. Sampai di Indonesia dia akan tinggal
sepuluh hari di kota tempat Tita tinggal. Dia memang kuliah di Indonesia, tapi
bukan di kota itu.
Dia juga
menjelaskan bahwa Tita baru tau semuanya semalam. Ia meminta Disa agar tidak
marah dengan sepupunya karena dia yang meminta Tita untuk merahasiakan hal itu.
“Truth or Dare...
mirip permainan kita waktu kecil, bukan?” lanjut Asta setelah penjelasannya
yang panjang lebar. Disa belum merespon apa-apa atas penjelasannya. “Aku minta
maaf, Disa.” ucapnya dengan menyesal.
Setelah dirasa
cukup mendengarkan Asta, Disa pun menaiki sepedanya dan segera pergi
meninggalkan Asta. Cowok itu membiarkan Disa pergi seakan mengerti kalau ia
mungkin butuh waktu. Di rumah, Disa hanya menghabiskan waktunya dikamar untuk
menangis. Ia tak habis pikir semuanya akan seperti ini.
Di sekolah, Disa
lebih banyak diam. Ini sudah hari ketiga sejak kejadian itu, tapi ia belum juga
berbicara dengan Tita. Dia bahkan akan lupa kalau hari ini adalah ulang
tahunnya kalau saja orangtuanya tidak mengucapkan ‘happy birthday’ ketika
sarapan tadi.
Saat pulang
sekolah, Disa tak berniat lama-lama dikelas. Dia ingin segera pulang. Tapi,
sebelum keluar dari kelas, langkahnya dihentikan teman yang diam-diam
dirindukannya selama tiga hari belakangan ini, Tita.
“Dis, gue cuma mau
bilang kalau jam 3 nanti Asta udah take off ke luar kota. Kalau lo masih peduli
sama dia, sekarang masih ada waktu.” ucap Tita.
Disa diam beberapa
saat, berusaha mencerna kata-kata Tita. Lalu, ia memeluk Tita, “Makasi ya, Tit.
Aku minta maaf udah nyuekin kamu.” Disa melepaskan pelukannya. “Aku pergi
dulu.”
Cewek itupun
langsung melesat pergi tanpa memberi kesempatan Tita untuk berbicara. Ia segera
naik taksi ke bandara. Sekarang masih jam 2, belum terlambat. Dari sekolahnya
ke bandara hanya memakan waktu 15 menit.
Sampai disana,
Disa langsung berlari sambil mencari-cari sosok cowok yang sudah bertahun-tahun
mengisi hatinya. Ia berharap dapat menemukan Asta di tengah ramainya suasana
bandara. Dapat. Disa melihat Asta yang terlihat sedang menunggu di dekat pintu
masuk. Ia mulai mendekati cowok itu.
“Asta! Atau perlu
aku panggil Astara Luki Riangga?” Disa bertanya dengan nada menyindir sambil
terengah-engah karena baru selesai berlari. “Kalau alasan kamu nyembunyiin nama
kamu sendiri cuma karena takut aku benci, kenapa gak menghilang selamanya aja?
Kenapa malah jumpain aku?” tanyanya panjang lebar.
“Aku
jumpain kamu karna...” Asta menggantungkan ucapannya. “...aku mau nepati janji
aku” sambungnya lirih.
“Janji
apa?” tanya Disa bingung. Setahunya, Asta tidak pernah berjanji apapun sebelum
dia pergi.
“Kamu
masih nyimpan koin itu, kan? Arti sebenarnya dari angka ‘10’ di koin itu
adalah...aku bakal nemuin kamu sepuluh tahun lagi. Tepatnya, di usia kamu yang
ke 17 ini.” jelas Asta.
“Aku
mana ngerti kalau kamu mengucapkan janji lewat koin. Aku pikir arti ‘10’ itu
adalah sepuluh hari persahabatan bodoh itu.” ucap Disa ketus yang kemudian diam
beberapa saat, “Terus setelah nepati janji, sekarang kamu malah pergi lagi
tanpa pamit. Mau ngulangi kesalahan kamu sepuluh tahun yang lalu, hah?”
“Bodoh..aku
cuma keluar kota. Bukan keluar negeri lagi. Lagian disana kan buat kuliah.”
“........”
gadis itu tak bergeming seakan belum siap kalau cowok itu bakal pergi lagi.
“Aku
janji bakal kesini lagi saat liburan..”
“Gak
perlu.” Disa mengambil koin yang pernah diberikan Luki sepuluh tahun yang lalu.
Kemudian, ia mengambil spidol hitam di kotak pensilnya. Dicoretnya angka ‘0’
yang tersisa di koin itu sehingga hanya menyisakan angka ‘1’. Lalu, ia
memberikan koin itu ke Asta.
“Aku
bakal nyusul kamu satu tahun lagi setelah nyelesain sekolahku. Aku akan kuliah
disana.” Disa tersenyum seolah menunjukkan keyakinan kalau ia akan menepati
janjinya.
Asta
tersenyum tipis lalu mengacak-acak rambut Disa, “Makasih, Dis.”
Disa
diam beberapa detik. Lalu, muncul sebuah ide di benaknya. “Truth or Dare?”
Pertanyaannya langsung disambut raut heran Asta. “Kamu kan belum ada ngucapin
ataupun ngasih kado buat aku. Sekarang, kamu pilih Truth or Dare?” lanjut Disa.
Asta
yang sepertinya dapat mengetahui maksud Disa saat ini pun menjawab, “Oke. Aku
pilih Dare.”
“Berarti
kamu harus ngasih kejutan ke aku lewat tindakan kamu.” ucap Disa sambil
tersenyum.
Asta
tampak berpikir. Kemudian ia mengajukan syarat. “Hmm..tapi kamu harus tutup
mata.” ujarnya.
Disa
mulai berpikir yang aneh-aneh saat Asta menyuruhnya menutup mata. “Ka..kamu mau
ngapain?” tanyanya dengan sedikit gagap.
“Katanya
kan kejutan. Berarti kamu gak boleh lihat dulu. Ayo, tutup mata.”
Disa
pun menutup matanya. Semenit. Dua menit. Tiga menit.
“Asta...
udah belum, sih? Kok lama banget?” Disa berulangkali memanggil nama Asta. Dia
mulai berpikir kalau cowok itu sudah pergi. Ia segera membuka matanya. Seperti
dugaannya, Asta tak lagi ada di hadapannya. Disa mulai panik dan matanya
sedikit berkaca-kaca menahan tangisannya agar tidak keluar.
Saat
Disa melangkahkan kaki berniat mengejar Asta, ia merasa menginjak sesuatu. Ia
melihat sebuah memo berwarna biru. Di dekat memo itu terdapat sebuah kotak
kecil berwarna merah. Ia membuka kotak itu. Air matanya menetes melihat sebuah
liontin yang terukir inisial namanya dan Asta., ‘D&A’. Lalu, Disa membaca
isi memo itu. Ia tersenyum terharu dan mengucap terimakasih kepada Asta dalam
hatinya.
‘Happy Birthday, hidung rata. See you next year.’
0 comment:
Posting Komentar
Jangan cuma baca aja, komentar juga dong! Tapi komentar yang baik-baik ya :)