Koin dari Teman Masa Lalu (bagian 2)


“Di-Disa..” ucap Tita terbata-bata.

Sementara Disa hanya melihat kedua orang yang sekarang ada di depannya dengan tatapan tidak percaya. Matanya mulai berkaca-kaca menahan tangis. Ternyata benar kecurigaannya selama ini, bahwa Asta itu adalah Luki, sahabatnya di masa lalu. Dan juga, Tita, teman yang selama ini ia percaya, entah sejak kapan mulai membohonginya.
Disa melangkahkan kakinya dan menenteng sepedanya agar dapat segera pergi dari tempat itu. Asta yang tadinya hanya menatap sosok cewek yang masih dicintainya itu, mulai mengejar dan menghentikan langkahnya yang sudah agak jauh dari rumah Tita. Sementara, Tita hanya menunggu dan berharap Asta menjelaskan semuanya ke Disa.
“Disa! Tunggu!” Asta menghentikan langkahnya. Kali ini gadis itu tidak bisa menghindar lagi karena cowok itu sekarang tepat hadapannya seakan menghalangi jalannya. Asta diam, tidak tau harus menjelaskan dari mana. Disa hanya menundukkan kepala untuk menyembunyikan air matanya. Karena tidak sabar menunggu, ia mulai melangkahkan lagi kakinya.
“Sepuluh tahun yang lalu...” Akhirnya Asta mulai bicara. Disa mau tak mau tidak jadi pergi. Asta menjelaskan bahwa saat itu ibunya yang mengidap penyakit jantung tiba-tiba kumat saat dia masih menemani ayahnya yang sedang mengurus tanah di desa yang waktu itu ia anggap tempat liburan. Asta menemani ayahnya ke desa karena ia sangat jarang bersama-sama dengan ayahnya yang sering meninggalkan ia dan ibunya untuk bekerja di Sidney.
Siang hari, sebelum Asta atau Luki meminta Disa menemuinya di pinggir sawah, ayahnya memberitahukan bahwa besok siang mereka akan kembali ke kota. Sebelumnya, ayah Asta bilang mereka hanya dua minggu disana. Ternyata lebih cepat dari rencananya. Asta pikir ia masih bisa berpamitan dengan Disa besok paginya. Tapi, ayahnya berubah pikiran. Malam itu juga, mereka pulang karena pembantunya saat itu menelpon dan mengabarkan bahwa kondisi ibunya semakin parah. Tidak mungkin ia berpamitan dengan Disa saat itu juga karena anak itu pasti sudah tidur.
Sampai di kota, kondisi ibunya mulai membaik. Empat hari kemudian, mereka memutuskan untuk pindah ke Sidney karena ayahnya pikir tidak mungkin ia terus merawat istrinya disini sementara ia harus bekerja di Sidney.
Asta berpikir masih ada sepuluh tahun waktunya untuk mencari Disa dan menepati janjinya. Dia berniat akan kuliah di Indonesia. Kebetulan ia mempunyai banyak saudara disana, salah satunya Tita. Dari situlah ia mengetahui bahwa Tita ternyata kenal dekat dengan cewek yang selama ini ia cari. Sampai di Indonesia dia akan tinggal sepuluh hari di kota tempat Tita tinggal. Dia memang kuliah di Indonesia, tapi bukan di kota itu.
Dia juga menjelaskan bahwa Tita baru tau semuanya semalam. Ia meminta Disa agar tidak marah dengan sepupunya karena dia yang meminta Tita untuk merahasiakan hal itu.
“Truth or Dare... mirip permainan kita waktu kecil, bukan?” lanjut Asta setelah penjelasannya yang panjang lebar. Disa belum merespon apa-apa atas penjelasannya. “Aku minta maaf, Disa.” ucapnya dengan menyesal.
Setelah dirasa cukup mendengarkan Asta, Disa pun menaiki sepedanya dan segera pergi meninggalkan Asta. Cowok itu membiarkan Disa pergi seakan mengerti kalau ia mungkin butuh waktu. Di rumah, Disa hanya menghabiskan waktunya dikamar untuk menangis. Ia tak habis pikir semuanya akan seperti ini.
Di sekolah, Disa lebih banyak diam. Ini sudah hari ketiga sejak kejadian itu, tapi ia belum juga berbicara dengan Tita. Dia bahkan akan lupa kalau hari ini adalah ulang tahunnya kalau saja orangtuanya tidak mengucapkan ‘happy birthday’ ketika sarapan tadi.
Saat pulang sekolah, Disa tak berniat lama-lama dikelas. Dia ingin segera pulang. Tapi, sebelum keluar dari kelas, langkahnya dihentikan teman yang diam-diam dirindukannya selama tiga hari belakangan ini, Tita.
“Dis, gue cuma mau bilang kalau jam 3 nanti Asta udah take off ke luar kota. Kalau lo masih peduli sama dia, sekarang masih ada waktu.” ucap Tita.
Disa diam beberapa saat, berusaha mencerna kata-kata Tita. Lalu, ia memeluk Tita, “Makasi ya, Tit. Aku minta maaf udah nyuekin kamu.” Disa melepaskan pelukannya. “Aku pergi dulu.”
Cewek itupun langsung melesat pergi tanpa memberi kesempatan Tita untuk berbicara. Ia segera naik taksi ke bandara. Sekarang masih jam 2, belum terlambat. Dari sekolahnya ke bandara hanya memakan waktu 15 menit.
Sampai disana, Disa langsung berlari sambil mencari-cari sosok cowok yang sudah bertahun-tahun mengisi hatinya. Ia berharap dapat menemukan Asta di tengah ramainya suasana bandara. Dapat. Disa melihat Asta yang terlihat sedang menunggu di dekat pintu masuk. Ia mulai mendekati cowok itu.
“Asta! Atau perlu aku panggil Astara Luki Riangga?” Disa bertanya dengan nada menyindir sambil terengah-engah karena baru selesai berlari. “Kalau alasan kamu nyembunyiin nama kamu sendiri cuma karena takut aku benci, kenapa gak menghilang selamanya aja? Kenapa malah jumpain aku?” tanyanya panjang lebar.
“Aku jumpain kamu karna...” Asta menggantungkan ucapannya. “...aku mau nepati janji aku” sambungnya lirih.
“Janji apa?” tanya Disa bingung. Setahunya, Asta tidak pernah berjanji apapun sebelum dia pergi.
“Kamu masih nyimpan koin itu, kan? Arti sebenarnya dari angka ‘10’ di koin itu adalah...aku bakal nemuin kamu sepuluh tahun lagi. Tepatnya, di usia kamu yang ke 17 ini.” jelas Asta.
“Aku mana ngerti kalau kamu mengucapkan janji lewat koin. Aku pikir arti ‘10’ itu adalah sepuluh hari persahabatan bodoh itu.” ucap Disa ketus yang kemudian diam beberapa saat, “Terus setelah nepati janji, sekarang kamu malah pergi lagi tanpa pamit. Mau ngulangi kesalahan kamu sepuluh tahun yang lalu, hah?”
“Bodoh..aku cuma keluar kota. Bukan keluar negeri lagi. Lagian disana kan buat kuliah.”
“........” gadis itu tak bergeming seakan belum siap kalau cowok itu bakal pergi lagi.
“Aku janji bakal kesini lagi saat liburan..”
“Gak perlu.” Disa mengambil koin yang pernah diberikan Luki sepuluh tahun yang lalu. Kemudian, ia mengambil spidol hitam di kotak pensilnya. Dicoretnya angka ‘0’ yang tersisa di koin itu sehingga hanya menyisakan angka ‘1’. Lalu, ia memberikan koin itu ke Asta.
“Aku bakal nyusul kamu satu tahun lagi setelah nyelesain sekolahku. Aku akan kuliah disana.” Disa tersenyum seolah menunjukkan keyakinan kalau ia akan menepati janjinya.
Asta tersenyum tipis lalu mengacak-acak rambut Disa, “Makasih, Dis.”
Disa diam beberapa detik. Lalu, muncul sebuah ide di benaknya. “Truth or Dare?” Pertanyaannya langsung disambut raut heran Asta. “Kamu kan belum ada ngucapin ataupun ngasih kado buat aku. Sekarang, kamu pilih Truth or Dare?” lanjut Disa.
Asta yang sepertinya dapat mengetahui maksud Disa saat ini pun menjawab, “Oke. Aku pilih Dare.”
“Berarti kamu harus ngasih kejutan ke aku lewat tindakan kamu.” ucap Disa sambil tersenyum.
Asta tampak berpikir. Kemudian ia mengajukan syarat. “Hmm..tapi kamu harus tutup mata.” ujarnya.
Disa mulai berpikir yang aneh-aneh saat Asta menyuruhnya menutup mata. “Ka..kamu mau ngapain?” tanyanya dengan sedikit gagap.
“Katanya kan kejutan. Berarti kamu gak boleh lihat dulu. Ayo, tutup mata.”
Disa pun menutup matanya. Semenit. Dua menit. Tiga menit.
“Asta... udah belum, sih? Kok lama banget?” Disa berulangkali memanggil nama Asta. Dia mulai berpikir kalau cowok itu sudah pergi. Ia segera membuka matanya. Seperti dugaannya, Asta tak lagi ada di hadapannya. Disa mulai panik dan matanya sedikit berkaca-kaca menahan tangisannya agar tidak keluar.
Saat Disa melangkahkan kaki berniat mengejar Asta, ia merasa menginjak sesuatu. Ia melihat sebuah memo berwarna biru. Di dekat memo itu terdapat sebuah kotak kecil berwarna merah. Ia membuka kotak itu. Air matanya menetes melihat sebuah liontin yang terukir inisial namanya dan Asta., ‘D&A’. Lalu, Disa membaca isi memo itu. Ia tersenyum terharu dan mengucap terimakasih kepada Asta dalam hatinya.


‘Happy Birthday, hidung rata. See you next year.’


0 comment:

Posting Komentar

Jangan cuma baca aja, komentar juga dong! Tapi komentar yang baik-baik ya :)

 

Copyright © Syifa-chan. Template created by Volverene from Templates Block
WP by Simply WP | Solitaire Online