Koin dari Teman Masa Lalu (bagian 2)


“Di-Disa..” ucap Tita terbata-bata.

Sementara Disa hanya melihat kedua orang yang sekarang ada di depannya dengan tatapan tidak percaya. Matanya mulai berkaca-kaca menahan tangis. Ternyata benar kecurigaannya selama ini, bahwa Asta itu adalah Luki, sahabatnya di masa lalu. Dan juga, Tita, teman yang selama ini ia percaya, entah sejak kapan mulai membohonginya.
Disa melangkahkan kakinya dan menenteng sepedanya agar dapat segera pergi dari tempat itu. Asta yang tadinya hanya menatap sosok cewek yang masih dicintainya itu, mulai mengejar dan menghentikan langkahnya yang sudah agak jauh dari rumah Tita. Sementara, Tita hanya menunggu dan berharap Asta menjelaskan semuanya ke Disa.
“Disa! Tunggu!” Asta menghentikan langkahnya. Kali ini gadis itu tidak bisa menghindar lagi karena cowok itu sekarang tepat hadapannya seakan menghalangi jalannya. Asta diam, tidak tau harus menjelaskan dari mana. Disa hanya menundukkan kepala untuk menyembunyikan air matanya. Karena tidak sabar menunggu, ia mulai melangkahkan lagi kakinya.

Koin dari Teman Masa Lalu



Seorang anak perempuan berusia tujuh tahun tampak terengah-engah karena berlari mendekati teman yang sudah sepuluh hari dikenalnya, sedang duduk di rumput pinggir sawah.
“Hei, hidung rata. Kamu kemana aja, sih? Kok lama banget?”
Perempuan yang dipanggil ‘hidung rata’ itu tampak mengerucutkan bibirnya setelah diejek oleh laki-laki yang diam-diam disukainya itu. Disa memang berhidung pesek atau lebih tepatnya berhidung kecil yang membuat kesan imut di wajahnya.
“Maaf, Luki. Tadi aku disuruh mamaku sebentar. Hehe.”
Luki merengut mendengar jawaban Disa, “Yaudah gak apa-apa. Duduk sini.” Katanya kemudian sambil menepuk tanah berumput di sebelahnya.
            “Ada apa sih? Kamu kok tumben manggil aku kesini? Sore-sore gini lagi.” tanya Disa penasaran. Luki hanya diam menanggapinya, kemudian mengeluarkan koin seratus rupiah dari saku celananya.
            “Sebelumnya kita main ‘Jujur-jujuran’ dulu. Seperti biasa, kamu yang lambang burung garuda, dan aku angka seratusnya.” jelas laki-laki yang ternyata diam-diam juga menyukai gadis berusia 7 tahun itu.
            Tiap kali bertemu, mereka selalu memainkan permainan yang mereka sebut ‘Jujur-jujuran’ itu. Cara bermainnya, salah satunya harus melempar koin lalu menangkapnya di punggung tangan. Yang pilihan sisi koinnya di atas itulah yang akan memberi pertanyaan, dan lawannya harus menjawab dengan jujur. Tentu saja, ini hanya bisa dimainkan oleh dua orang.
            “Oke. Setuju.” jawab Disa disertai anggukan dan cengiran khasnya.
           

Kehidupan Baru, Semangat Baru...



Kasian juga ya blog ini. Udah hampir setahun dianggurin. Huft~
Ada dua faktor kenapa aku gak ada posting setelah ulang tahunku beberapa bulan yang lalu. Pertama, blog ini sedang dalam renovasi (yaelah bro bahasanya) waktu itu. Jadi, demi menjaga ketentraman sang pembajak pembuat header blog(Imam ramzani), aku memutuskan untuk vacuum cleaner hingga blog ini benar-benar siap di isi kembali #tsaah #padahalemangmalasngeblog #PLAK

Nah, faktor yang terakhir inilah yang pengin aku ceritakan ke kalian. Muahahaha..uhuk..uhuk.. *keselek laptop*

Jadi, udah hal yang lazim bagi anak kelas 3 SMA yang baru tamat untuk mengikuti berbagai ujian masuk ke universitas yang diinginkan. Begitulah yang terjadi dengan aku dan beberapa ceman-ceman akoh. Masalahnya adalah, apa itu lazim? Entahlah, aku juga gak tau.

My Second Home


Udah jadi kebiasaan sebelum mulai nulis, aku selalu buka Winamp dan nyalain musik. Lagu “It will rain” nya Bruno Mars mengalun jelas melalui headphone ke telinga. Lalu, aku klik file fiksi horror dengan nama “belum ada judul” di Ms.Word. Masih 2 page. Bingung dengan kelanjutan ceritanya, aku diam beberapa menit. Sampai lagu “It Will Rain” habis aku masih terdiam. Lalu lagu berlanjut. Masih dengan keheningan, aku dengerin opening lagu itu. Lagu yang gak asing lagi..

Suatu hari di kala kita duduk di tepi pantai
dan memandang ombak di lautan yang kian menepi
burung camar terbang bermain di derunya angin
suara alam ini hangatkan jiwa kita….

Lagu “Kemesraan” nya Iwan Fals ini sukses buat air mataku netes. File fiksi horror yang terbuka saat itu, langsung aku close. Tanganku udah gatal pengen nuangin rindu ini ke anak IPA-2. Disini aku bakal nyeritain tentang “My Second Home”.


Malin Kundang (Modern Version)

Malin : “Tidak !! Dia bukan Ibuku !! (bergegas meninggalkan Ibunya)
Kemudian sang ibu menangis sedih, anak yang dilahirkan dan dibesarkannya tidak mengakuinya.
Air matanya berlinang. Malin segera pergi dari desa.
Ibu : “Ya ALLAH,mengapa anakku satu-satunya seperti itu??Aku yang melahirkan dan membesarkan dia Ya ALLAH.Berilah Ia teguranmu,sesungguhnya Ia adalah anak yang durhaka!!!”
Tiba-tiba di tengah perjalanan,badai datang,angin bertiup kencang,gelombang air laut naik,kilat menyambar-nyambar,kapal pun terguncang.
Malin : “Ada apa ini??Badai begitu besar”
Tiba-tiba kilat menyambar malin.
Malin : “Aaaaarrrrrggggghhhhh……!!!!!!!!”
Seketika Ia menjadi batu…


Kalian pasti tau penggalan kisah itu. Yap, Malin Kundang. Kalau dengar kata Malin Kundang pasti yang terlintas diotak kalian adalah seorang anak durhaka yang dikutuk ibunya jadi batu.
Itu kan ceritanya udah lamaaaaaaaa banget. Kalian percaya gak sih kalau sampai sekarang cerita yang mirip dengan Malin Kundang itu ada di kehidupan kita? Bedanya, kalau zaman sekarang versinya lebih berbeda. Kesamaannya cuma seorang anak yang durhaka/gak mau dengerin perkataan ibunya.

Terserah mau percaya atau enggak, aku pernah ngalamin hal kayak diatas. Hal yang ngebuat aku takut ngebantah mama. Hal yang buat aku trauma, bahkan sampai sekarang. Aku bakal cerita sedikit. Walaupun ceritanya gak semenarik kisah Malin Kundang.

Kejadiannya 4 tahun yang lalu. Pas kelas 2 SMP, entah hari Selasa atau Kamis aku lupa. Jadi, seperti biasa tiap minggu sekolah selalu ada kegiatan renang. Tentunya ini pelajaran olahraga, bukan liburan anak kecil yang berenang bebek terus siram-siraman air. Bukan.

Dunia Tak Seindah Surga, Tapi Cinta Lengkapi Kita



“DUNIA TAK SEINDAH SURGA, TAPI CINTA LENGKAPI KITA”

Satu hal yang aku pikirkan pas dengar kata-kata itu. Dunia tak seindah surga. Iya, gak ada tempat yang seindah surga. Karena memang surga tempat terbaik yang diciptakan Allah. Tempat yang gak ada saingan. Gak ada yang salah dengan 4 kata itu.

“Tapi cinta lengkapi kita”

Awalnya aku gak terlalu masalahin kata-kata itu. Sampai akhirnya, aku sadar ada yang salah dari kata-kata itu. Indah memang hidup yang dilengkapi cinta. Bersyukurlah buat orang-orang yang bisa mencintai dan dicintai. Kalian termasuk orang-orang beruntung. Tapi, ada yang kalian lupain dari kata-kata itu. Ada kata “kita” disana. 

Waktu nama kalian disebutkan sebagai warga-warga yang bakal menempati suatu desa yang bernama “XI IPA-2”, belum ada kata “kita” disana. Aku dan kalian butuh adaptasi. Adaptasi ke kelas baru, teman baru, guru baru, wali kelas baru, suasana baru, peraturan baru dan pastinya masalah baru.

Lalu, memasuki fase setelah adaptasi, aku dan kalian dihadapkan oleh tugas-tugas berat yang mengharuskan kalian untuk bekerjasama, tugas kelompok. Tugas yang membuat kalian gak bisa tidur memikirkannya, rasa panik dan pasrah seakan menyatu. Rasa takut dimarahin guru kalo gak siap tugas itu. Dan rasa puas ketika tugas itu siap dan kalian mendapat pujian dari guru. Disitulah awal lahirnya kata “kita”.

Masih Tentang Rindu

Waktu itu, ntah tanggal berapa aku lupa. Mungkin 2 atau 3 hari yang lalu. Aku ngelalui malam-malam dengan hati yang kacau kayak anak kecil yang balon hijau nya meletus di lagu "Balonku ada 5". Pas ngetik postingan ini, aku gak nemuin sosok aku. Serasa tangan ini ngetik sendiri. Sangat beda jauh dari tulisan aku yang lain. Aku yakin kalo kalian baca ini juga muak dan cuma buang waktu kalian aja. Tapi aku gak ngerasa buang waktu buat ngetik ini. Karena aku punya waktu memang untuk dibuang. Gini ceritanya :

Makan, nonton acara tv liburan, baca novel, bernafas, ke kamar mandi. Itu yang aku lakuin seharian pada waktu itu. Ketika waktunya ngantuk, aku bergegas kekamar dan ingin segera tidur di kasur empuk. Tapi, apa yang aku dapati gak langsung membuatku naik ke atas tempat tidur. Semut. Itu yang aku dapati ketika aku hampir aja naik ketempat tidur. Dengan refleks aku menggaruk leher yang sama sekali gak gatal. Memang itu yang selalu aku lakuin tiap ngeliat semut. Ntah sampai kapan phobia ini berakhir.

Aku gaktau semut itu datang darimana dan mencari apa. Apa yang bisa mereka dapatkan di tempat tidur aku? Aku terus mikir dan akhirnya lamunan itu berakhir.
Tiba-tiba aku dengar jam alarm bunyi. Aku langsung buka mata perlahan dan coba ngumpulin nyawa. Mengingat-ingat apa yang baru aja terjadi. Ternyata tadi itu cuma mimpi. Kasurku sama sekali gak ada semut.

 

Copyright © Syifa-chan. Template created by Volverene from Templates Block
WP by Simply WP | Solitaire Online